Ratna
Juwita
Aku berjingkrak ketika
dia datang. Gadis itu, sudah lama aku tidak melihatnya sejak ia putus
dengan—yang orang bilang—kekasihnya. Ia tampak sehat, meski gurat sedih masih nampak
jelas di wajahnya.
“Ssstt!
Diamlah!” Dia menatapku tajam. Ah, tanpa sadar aku bersuara dan mengganggunya.
Sejenak, aku lupa bahwa ini adalah perpustakaan.
Aku
diam. Memandangi tiap jengkal wajah manisnya yang selalu terbayang di benakku.
Rambut hitamnya tergerai sebahu, kacamata duduk tenang di hidungnya, bibir
berwarna merah muda yang tipis, ah, dia terlihat menawan. Ia menunduk. Menatap
barisan kalimat dalam buku bersampul birunya, sesekali mengangguk.
Aku
tersentak ketika kudengar langkah kaki seseorang mendekat. Sial, laki-laki itu!
Lelaki lembek yang membuat gadisku menangis. Dulu. Entah kapan, aku tidak
ingat. Lelaki itu berjalan perlahan ke sebuah rak, dan mengambil buku bersampul
hijau. Ia membawa buku itu ke tempat duduk terjauh dari si Gadis. Si Gadis
melirik sekilas, aku tak bisa menerjemahkan ekspresinya saat ini. Apakah ia
senang? Ataukah sedih?
Mereka
diam. Mematut buku masing-masing dengan pandangan hampa. Aku memahami raut
wajah orang yang benar-benar membaca, tidak seperti raut mereka saat ini.
***
Si
Gadis datang lagi. Masih di tempat yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Sudut
belakang selalu menjadi tempat favorit untuk menenggelamkan diri pada
buku-bukunya. Namun, kali ini terasa berbeda. Ia tidak fokus. Berulang kali ia
menoleh, seperti mencari seseorang. Ah, kurasa aku tahu siapa yang sedang
dicarinya.
Lalu,
beginilah yang terjadi. Si Lelaki datang. Kali ini duduk sedikit lebih dekat dari
gadis itu, dengan buku bersampul hijaunya. Bisa kurasakan kecanggungan merayap
manja mengelilingi mereka. Aku benci suasana seperti ini. Aku tak dihiraukan,
dianggap pun tidak.
Bukankah
mereka hanya mantan sekarang? Hanya mantan, biar kuperjelas lagi. Aku kerap
melihat si Lelaki membawa gadis ke perpustakaan ini. Gadis lain, tentu saja.
Tidak ke sini untuk membaca buku, malah bermesraan. Membuatku muak. Membuat
gadisku pun sesak dan akhirnya lama tak kembali. Meninggalkanku dan sejuta imaji
serta rindu yang tumbuh subur akan sosoknya.
Si
Gadis menyelipkan rambut, membetulkan letak kaca matanya. Si Lelaki duduk
gelisah, membenarkan letak duduknya. Aku? Aku hanya mencoba mendekat pada
gadisku, melangkah perlahan.
“Hei,
pergilah! Jangan mendekat!” Seperti yang kuduga, aku malah diusir olehnya. Aku
tidak tahu apa yang salah sampai ia selalu berlaku kasar padaku. Aku kesal. Aku
cemburu pada lelaki itu yang tak pernah diusirnya seperti ini.
Aku
menjauh dengan langkah gontai. Di saat aku menjauh, lelaki itu malah semakin
mendekat pada si Gadis. Aku mengumpat dalam hati. Kutatap si Lelaki setajam
yang kubisa, tapi tak dihiraukannya.
“Eh,
Rik,” lelaki itu memanggil canggung. Si Gadis mendongak. “Rik, aku... minta
maaf.” Ucapnya pelan, sarat ketakutan. Aku berharap saat itu si Gadis membentak
dan mengusir lelaki itu sama seperti ia membentak dan mengusirku barusan. Namun,
sepertinya harapku hanya untaian kesia-siaan. Aku tahu ia pura-pura kaget
dengan kedatangan si Lelaki, tergambar jelas di wajahnya bahwa ini memang hal
yang telah dinantikannya. Aku kesal.
Gadis
itu melirikku sebentar, tersenyum tipis. “Lupakan itu, Rik!” Mereka
berpandangan, sesaat kemudian tergelak.
Untuk
sebentar saja, suasana kecanggungan di antara mereka menguap. Tergantikan tawa
yang meluluhkan ketegangan yang sempat menyelubungi keberadaan mereka.
Si
Lelaki berhenti tertawa, “Sudah lama kita tidak memanggil nama masing-masing
dengan ejaan yang sama.” Si Gadis tersenyum, seakan lupa akan air mata yang
dulu sempat ditumpahkannya karena lelaki itu. Ah, mengapa hati wanita cepat
sekali berubah?
Seharusnya
gadis itu tak begitu saja mengatakan “lupakan”, apa dia tidak merasa sakit hati
pada lelaki seperti itu? Firasatku tidak enak. Aku tidak ingin berpikir bahwa
gadis itu masih mencintainya.
Aku
terkejut ketika beberapa detik setelah tawa itu, si Gadis meneteskan air mata.
Aku tidak menyangka ia akan menangis di sini, di depanku lagi, dan di depan
lelaki kurang ajar itu. Membuatku bingung. Membuat lelaki itu pun canggung. Si
Gadis menelungkupkan kedua telapak tangannya di wajah, mencoba menyembunyikan
tangisnya yang terlanjur pecah. Si Lelaki salah tingkah, berdiri dengan kalut.
Ia menggaruk kepalanya dan tampak tengah memikirkan sesuatu dengan gugup.
“Aku-Aku-eh...
perkenalkan, aku Erik dan kau?” Akhirnya sebuah suara berhasil keluar dari
mulut lelaki itu. Si Gadis tampak sedikit tenang, tak lagi sesenggukan. Ragu,
ia membuka telapak tangan dari wajah, menatap si Lelaki dengan mata sembab. Ia
tersenyum canggung. Ih, aku jengkel tak pernah bisa membuatnya tersenyum
seperti itu.
Lelaki
bernama Erik itu mengulurkan tangan layaknya orang yang baru berkenalan. Si
Gadis menatap tangan yang terulur itu, kemudian membalas jabat itu dengan
senyum terkembang di wajahnya. “Na-namaku Rika. Senang bertemu denganmu,” Rika tertawa
kecil, menimbulkan kelegaan di wajah Erik.
Hatiku
hancur. Patah hati. Aku tahu yang sedang mereka lakukan. Itu adalah hal yang
mereka lakukan dulu ketika pertama kali berkenalan di perpustakaan ini. Di
depanku.
Rika
mencoba menyeka air matanya yang tersisa, tapi Erik menghalanginya. Ia
menggantikan tangan Rika, menyeka air mata dengan tangannya. Aku marah. Aku
cemburu, tapi tak ada yang bisa kulakukan selain berlari pergi. Menghindari
cinta yang tak kurestui, berbunga kembali.
***
“Kau
tahu? Khalil Gibran mengatakan api cinta adalah api abadi. Sesekali mungkin ia
padam, tapi selalu kembali menyala, cukup dengan satu percikan kecil untuk menyulutnya
kembali.” Erik berkata sambil menarik buku bersampul merah muda dari rak paling
belakang.
Aku
melirik Rika yang terlihat antusias dengan ucapan Erik. Semburat merah nampak
samar menghiasi kedua pipinya.
“Aku
tahu aku salah,” Erik duduk di samping Rika. Menatap Rika dalam, sambil
meletakkan buku yang baru saja diambilnya. “Aku-aku tahu aku telah berlaku
jahat dengan meninggalkanmu untuk gadis lain,” ia menggigit bibir, “aku minta
maaf.” Sesalnya.
Rika
menunduk, mungkin mencoba menerka perasaannya sendiri. Lama mereka bergelut
dalam hening. Aku berdebar, berharap semoga mimpi burukku tidak menjadi
kenyataan.
Rika
menghela nafas. Pelan, tapi tenang. Seakan melepaskan segala beban berat yang
selama ini dibawanya.
“Dan
kau tahu?” Rika menatap Erik. Nafasku memburu. Aku ingin agar hari ini tak
pernah ada dalam hidupku. “waktu selalu berjalan tanpa kompromi, merenggut
apapun, siapapun, tanpa pernah sekalipun meminta persetujuan. Namun, waktu juga
adalah obat, obat bagi lukaku dan penyesalanmu,” Aku meneguk ludah mendengar
ucapan Rika yang mengalun lembut, tapi hampir merenggut kesadaranku. “seberapapun
aku mencoba melangkah jauh, aku selalu kembali pada sosokmu.” Rika tersipu,
Erik tak kalah bersemu. Aku lesu.
Mereka
terdiam lagi untuk beberapa saat. Tersenyum-senyum sendiri. Membuat hidupku
seolah berhenti.
Erik
membuka buku bersampul merah muda itu, ia membuka lembar demi lembar dengan
cepat. “Engkau telah mengikatku ke dalam dirimu, mengajarkan mataku untuk
melihat, telingaku untuk mendengar, bibirku untuk berbicara, dan hatiku untuk
mencintaimu,” Erik membaca kalimat dalam
buku itu, lalu terlihat akan memeluk Rika.
Aku
tidak rela! Aku menjatuhkan diri. Muak! Menghalangi mereka yang akan
berpelukan. Kuhempaskan tubuh ke pangkuan Rika. Rika menjerit histeris. Ia
mengibaskan tangannya padaku, membuatku terlempar ke lantai, menggelepar. Aku
segera tersadar ketika Erik menginjak ekorku, cepat-cepat aku melarikan diri
dan membiarkan ekorku terputus. Aku berlari tunggang-langgang, sayup-sayup
kudengar Rika mengumpatku.
“Dasar
cicak kurang ajar!”
***
oh ternyata kmu toh cicak2 di dinding
ReplyDeleteHaha :D
DeleteBhahaha... sampai di pertengahan Aku nanya. Dimana comedinya? Eh. Tau tau ada cicak di endingnya
ReplyDeleteBhahaha... sampai di pertengahan Aku nanya. Dimana comedinya? Eh. Tau tau ada cicak di endingnya
ReplyDeletehehe.. aku juga gak tau apa itu komedi wkwk
ReplyDeleteSempat bertanya2 peran utamanya siapa? Dan saat di akhir kisah, ternyata, ah sudahlah π
ReplyDeleteοΌ·ο½ο½ο½terima kasih sudah membaca :)
Deletelah ternyata cicak haha bagus-bagus ga ketebak peran utamanya
ReplyDeleteHaha terima kasih sudah membaca :)
DeleteCicak kampret sampe mewakili perasaan temenku setelah di baca kan nyaring sama gebetannya kok ujung2nya cicak
ReplyDeletewkwkwk π€£π€£π€£
Deletesebelum dibaca keras keras, dibaca dalam hati dulu π
Godd one though
ReplyDelete